-
Hukum Asuransi Menurut Para Fuqaha
Perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih tentang hukum asuransi, sejak pertama kali dikaji hingga saat ini, masih terus berlanjut. Ada golongan ulama fikih yang menyatakan hukum asuransi itu mubah, sementara golongan yang lain menyatakan haram.
Dan perbedaan pendapat tentang asuransi itu pun juga tidak lepas pada pembahasan mengenai status hukum asuransi syariah atau takaful. Bahkan di Indonesia ada yang menyatakan baik asuransi konvensional maupun asuransi syariah, keduanya sama-sama haram. Alasannya adalah karena pertimbangan adanya aspek riba dan gharar (transaksi bisnis yang mengandung ketidakpastian).
Para ahli fikih klasik, tidak ada yang membahas tentang persoalan asuransi. Sehingga tidak ditemukan dalil yang melarang praktik asuransi. Hal itulah kemudian yang menjadi alasan golongan ulama fikih membolehkan asuransi karena berpegang pada kaidah ushul fikih:
Artinya: hukum asal sesuatu adalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya”
Di sisi lain ada pendapat ketiga yang disampaikan oleh para ulama fikih kontemporer yang menyatakan bahwa asuransi terbagi menjadi dua macam yaitu asuransi tijari atau asuransi yang bersifat komersil dan profit oriented maka hukumnya haram. Alasannya pada asuransi tijari ini terdapat praktik riba dan gharar. Dan yang kedua adalah asuransi ta’awuni atau tabarru’, yang
merupakan asuransi sosial dan landasannya adalah tolong menolong sehingga
para ulama bersepakat, hukum asuransi ini mubah atau boleh.
-
Hukum Asuransi Syariah di Indonesia
Pertumbuhan dan perkembangan asuransi syariah sesungguhnya merupakan solusi di tengah anggapan bahwa esensi asuransi bertentangan dengan syariat agama karena terdapat praktik riba dan gharar tersebut. Oleh sebab itulah pada tahun 2001 MUI menerbitkan fatwa bahwa asuransi syariah
secara sah diperbolehkan dalam ajaran agama Islam.
Fatwa MUI Nomor 21/DSN-MUI/X/2001 tersebut mempertegas kehalalan asuransi syariah yang di antaranya mengatur tentang prinsip umum dan akad asuransi syariah. Dengan demikian jaminan perlindungan/takaful yang ditawarkan melalui program asuransi syariah ini jelas hukumnya halal sesuai dengan fatwa yang diterbitkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Sedangkan regulasi yang mengatur tentang seluk beluk dan pengelolaan asuransi di Indonesia diatur dalam UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Undang-undang ini mengatur tidak hanya asuransi konvensional, namun juga mengatur tentang tata kelola asuransi syariah dengan sangat jelas dan terperinci.
Rukun, Syarat dan Larangan Asuransi Syariah
Imam Hanafi menyebutkan bahwa rukun asuransi hanya ada satu yaitu ijab dan kabul. Sedangkan menurut ulama fikih yang lain, rukun asuransi adalah terdiri dari empat hal yaitu:
1) Kafil; yaitu orang yang menjamin (baligh, berakal, bebas berkehendak, tidak tercegah membelanjakan hartanya).
2) Makful lah; yaitu orang yang berpiutang disarankan sudah dikenal oleh kafil.
3) Makful ‘anhu; yaitu orang yang berhutang.
4) Makful bih; yaitu utang, baik barang maupun uang disyaratkan diketahui dan jumlahnya
tetap.
Adapun syarat dan larangan bagi orang yang akan melaksanakan asuransi
syariah adalah:
1) Baligh
2) Berakal
3) Bebas berkehendak (tidak dalam paksaan)
4) Tidak sah transaksi atas sesuatu yang tidak diketahui (gharar)
5) Tidak sah transaksi jika mengandung unsur riba
6) Tidak sah transaksi jika mengandung praktik perjudian (maisir)
Tujuan dan Prinsip Asuransi Syariah
Tujuan asuransi syariah adalah untuk melindungi peserta asuransi dari kemungkinan terjadinya risiko yang tidak bisa diprediksi. Dalam hal ini, perusahaan jasa asuransi adalah perusahaan yang menjalankan amanah yang dipercayakan oleh peserta asuransi syariah, untuk mengelola amanah dalam rangka menolong meringankan musibah yang dialami peserta lain.