Kontroversi Mutasi Sekda Pemalang, Praktisi Hukum Sebut Potensi Cacat Administratif dan Langgar Asas Meritokrasi

By Fahroji - Redaktur
3 Min Read
Dr.(c). Imam Subiyanto, S.H., M.H., CPM

JURNAL PEMALAMG – Mutasi Sekretaris Daerah (Sekda) Heriyanto ke jabatan Staf Ahli Bidang Pembangunan, Ekonomi dan Keuangan yang dilakukan Bupati Pemalang Anom Widiyantoro pada Senin (6/10/2025) menjadi sorotan di kalangan ahli hukum.

Langkah yang diklaim sebagai rotasi ini dinilai berpotensi cacat hukum administratif dan melanggar prinsip dasar manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN).

Praktisi hukum dan akademisi di Pemalang Dr.(c). Imam Subiyanto, S.H., M.H., CPM menilai, pemindahan Sekda, posisi karier tertinggi di birokrasi daerah, ke jabatan fungsional yang relatif lebih rendah tanpa proses disiplin yang jelas, merupakan demosi terselubung.

Ia menegaskan bahwa kewenangan bupati untuk merotasi Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama (PPTP) tidak bersifat absolut.

Kewenangan tersebut terikat pada asas legalitas, kepatutan, dan proporsionalitas, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

“Apabila Sekda yang masih aktif, tiba-tiba dipindahkan ke staf ahli tanpa alasan yang sahih, secara substansi itu bukan ‘rotasi,’ melainkan penurunan jabatan (demosi) yang melanggar asas kepastian hukum dan keadilan,” kata Imam, Managing Partner Law Office PUTRA PRATAMA & Partners, kepada wartawan, Selasa (7/10/2025).

Imam menambahkan, tindakan seperti itu berisiko dikualifikasikan sebagai penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) jika tujuannya bukan untuk kepentingan organisasi, melainkan sebagai alat pembenaran politik kepala daerah untuk menyingkirkan pejabat.

Kebijakan rotasi Heriyanto merujuk pada Surat BKN Nomor 19199/RAK.02.03/SD/F/2025 tentang rekomendasi hasil uji kompetensi, serta Keputusan Bupati Pemalang Nomor 800.1.3.3/010/TAHUN 2025.

Imam mengingatkan bahwa surat rekomendasi dari BKN bersifat teknis dan bukan dasar yuridis tunggal untuk demosi.

“Rekomendasi BKN itu sifatnya hanya rekomendatif. Bupati tetap harus menindaklanjuti dengan keputusan yang berdasar pada penilaian objektif, bukan sebagai alat pembenaran politik,” tegasnya.

Apabila uji kompetensi digunakan untuk mengeliminasi pejabat yang tidak sejalan dengan kepentingan politik, hal tersebut dinilai melanggar asas netralitas ASN dan dapat digolongkan sebagai maladministrasi struktural atau abuse of power.

Share This Article
Leave a Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *