“Pemerintah kita kurang kreatif dan lebih menghargai administrasi dibandingkan inovasi. Konsolidasi BUMN sebenarnya sudah diinisiasi sejak lama, namun tertunda akibat krisis,” ungkapnya.
Ia mengibaratkan BUMN sebagai ‘telur emas’ milik rakyat yang dikumpulkan dalam satu wadah bernama Danantara, namun menyoroti kurangnya transparansi dalam penyusunannya.
“Skeptisisme masyarakat dan investor terhadap Danantara sangat besar. Dalam 10 tahun terakhir, kita melihat berbagai kasus korupsi besar yang membuat publik tidak ingin sejarah kelam ini terulang,” tegasnya.
Wijayanto juga menyoroti dampak Danantara terhadap pasar saham.
“Kinerja Jakarta Composite Index (JCI) saat ini merupakan yang terburuk dibandingkan indeks utama dunia dan Asia. Penurunan harga saham BUMN lebih tajam daripada JCI, di mana kehadiran Danantara diduga menjadi salah satu faktor utama,” jelasnya.
Dalam aspek hukum, Hadi R. Purnama, Direktur Hukum, HAM, Gender, dan Inklusi Sosial LP3ES, menekankan pentingnya kepastian hukum dalam status kelembagaan Danantara.
“Apakah Danantara merupakan lembaga publik atau privat? Kedua status ini memiliki konsekuensi hukum dan mekanisme pengawasan yang berbeda,” ujarnya.
Ia juga mempertanyakan mekanisme pertanggungjawaban hukum terkait kerugian yang mungkin ditimbulkan oleh Danantara.
“Bagaimana mungkin aset BUMN dikelola oleh Danantara, tetapi kerugian yang terjadi tidak dianggap sebagai kerugian negara?” tanyanya.
Hadi menekankan bahwa regulasi Danantara harus diperbaiki agar tidak menimbulkan celah hukum.