Gejala lainnya dengan memasukkan Gibran Rakabuming putra Jokowi melalui MK, dengan memanipulasi proses hukum dan politik sehingga menjadi cawapres 02. Setelah itu kita melihat bansos dijadikan alat politik untuk memenangkan kekuasaan dalam pilpres 2024. “Suara-suara kampus dan civil society tidak diindahkan, bahkan tidak ada dialog sebagaimana dulu Soeharto mengadakan dialog dengan para mahasiswa. Itulah yang disebut gejala Otorianisme Baru. Jadi, bansos sebagai instrumen pemenangan politik adalah bagian dari konstruksi politik otoritarian” tambahnya.
Narasumber lainnya, Dr. Elan Satriawan dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada melihat saat ini sudah menjadi alat tujuan utama dari politik. Bansos juga dikategorikan sangat penting untuk penanggulangan kemiskinan, faktanya hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Bansos sering kali dijadikan sebagai strategi tetapi juga sangat rentan terhadap upaya-upaya politisasi.
“Hal yang harus dilakukan untuk penanggulangan kemiskinan bukan hanya bansos saja yang seolah menjadi satu-satunya jalan, karena jelas tidak akan cukup. Harus ada program afirmasi yang dapat menghilangkan/mengatasi kendala-kendala yang membuat kelompok bawah/miskin, bisa relatif setara dengan rakyat yang lain” kata Elan.
Elan memandang harus ada program perlindungan sosial yang berfungsi untuk melindungi agar kesejahteraan mereka tidak jatuh. Khususnya dalam situasi krisis, contohnya ada peristiwa penggusuran kaki lima, atau kepala keluarga yang sakit berkepanjangan, dan lainnya. Krisis yang sifatnya agregat atau pun yang unik per individu.
“Sayangnya program-program seperti UMKM, inklusifitas dan lain sebagainya tidak secara efektif dan sistematis dikaitkan dengan penanggulangan kemiskinan. Sejauh ini, yang dikenal masyarakat mengenai penanggulangan kemiskinan hanya bansos.” Tambah Elan.
Dr. Ninasapti Triaswati dosen dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia melihat tujuan dari adanya bansos memang pencapaian target dengan tujuan politiknya pengentasan kemiskinan. “Sebenarnya tujuan bansos itu komprehensif bukan hanya memberikan sejumlah uang atau makanan/pendidikan, tapi dengan meningkatkan kesejahteraan ekonomi melalui berbagai kebijakan ekonomi dan keuangan” kata Nina.
“Jika dibandingkan periode saat ini nilai bansos Rp 496 triliun, sedangkan periode lalu sebesar Rp 476 T. Yang menjadi masalah bukan sekedar mencapai atau bahkan tepat sasaran tetapi juga soal pemerataan antar kelompok” lanjut Nina.
Pada 2013 ke 2014 bansos yang digelontorkan sekitar Rp 398 T, di akhir era SBY sebesar Rp 439 T, jadi bisa dilihat dengan jelas bahwa ada lonjakan anggaran sekira Rp40 T. “Bahkan jika dilihat berdasarkan data, nilai bansos yang paling besar terjadi pada 2020 yaitu sebesar Rp498 T (Pandemi Covid). Kemudian terjadi penurunan kembali ke angka Rp 397 T pada 2021. kemudian naik lagi di 2022 sebesar Rp 431 dan Rp 476 di tahun 2023. Dari angka-angka itu memang ada pertanyaan besar, apakah ada kepentingan yang muncul yakni kepentingan politik?” imbuh Nina.
Wijayanto Direktur Pusat Media dan Demokrasi LP3ES menyampaikan bahwa bansos yang dibagikan saat pemilu merupakan suatu refleksi kegagalan negara untuk memenuhi amanah konstitusi. “Tak hanya itu, bansos yang diberikan adalah refleksi kegagalan birokrasi negara untuk menjalankan bantuan sosial, sehingga terjadinya kegagalan birokrasi dan administratif didalamnya” kata Wijayanto.