JURNAL PEMALANG – The Lead Institute Universitas Paramadina mendampingi komunitas perempuan Pulau Tidung, Kepulauan Seribu berlatih meningkatkan kegunaan Mangrove yang tidak hanya sebagai tembok pertahanan alam, tapi juga sumber daya ekonomi yang berharga.
Lewat Program “Perempuan, Mangrove, & Ekoturisme Berkelanjutan”, sebanyak 30 perempuan dibekali keterampilan untuk menciptakan produk olahan mangrove bernilai jual tinggi serta bagaimana merancang ekoturisme pesisir yang berkelanjutan.
Program yang diselenggarakan pada Jumat-Sabtu, 26-27 September 2025 di Pulau Tidung, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta ini berjalan lancar dengan dukungan Pray Foundation, Ma-Ha Indonesia, dan Pratita Foundation.
Acara dibuka oleh Rektor Universitas Paramadina, Prof. Dr. Didik J Rachbini yang menegaskan pentingnya kesadaran lingkungan dan peran perempuan dalam memberikan dampak pelestarian lingkungan lebih luas.
“Isu tentang mangrove sangat penting. Di pesisir, tanaman ini cepat tumbuh dan sangat gampang, dan juga banyak orang-orang yang inisiatif menanam tanpa perlu teknologi tinggi,” jelas Prof. Didik.
Senada,Tokoh Perempuan, Pengusaha dan Mantan Perencana Strategis Dekranasda DKI Jakarta, Pratiwi Astar menginspirasi peserta dengan konsep manusia sebagai khalifah di muka bumi yang memiliki amanat untuk berbuat ishlah (perbaikan).
Pratiwi menyoroti ancaman nyata terhadap ekosistem mangrove mulai dari pembangunan yang tidak berkelanjutan, pencemaran dari hulu sungai, hingga rendahnya literasi ekologis masyarakat.
“Ekosistem mangrove terancam pembangunan yang tidak berkelanjutan, pencemaran dari hulu sungai serta rendahnya literasi ekologis masyarakat. Padahal, mangrove memiliki peran vital melindungi pesisir dari badai dan tsunami, menyerap karbon, serta menjadi sumber pangan dan menjadi bahan baku olahan yang bernilai ekonomi,” kata Pratiwi.
Mencapai Keseimbangan antara Nilai Ekonomi dan Keadilan Ekologis
Ketua The Lead Institute Universitas Paramadina, Dr. phil Suratno memberikan pandangan kritis mengenai perkembangan industri pariwisata yang tidak berkelanjutan dan pentingnya mengedepankan keadilan ekologis.
Pariwisata, di satu sisi, adalah kegiatan rekreasi dan menjadi sumber ekonomi, tapi di sisi lain pariwisata juga bertransformasi menjadi industri yang “jor-joran” dan membawa petaka bagi kelestarian alam.
“Dalam konteks industri, pariwisata kemudian jor-joran, bangun gedung, jalan, jembatan tanpa memikirkan AMDAL. Dari situlah muncul pandangan kritis bahwa pariwisata yang jor-joran seperti ini akan bahaya, tidak sustainable,” jelas Suratno.
