Bahlil Golkar, Demokrasi dan Alien
- calendar_month 3 jam yang lalu

Prof. Didik J Rachbini, Ph.D.
*CATATAN AKHIR TAHUN: Prof. Didik J Rachbini, Ph.D. (Rektor Universitas Paramadina)
JURNAL PEMALANG – Ketua Umum Golkar, Bahlil Lahadalia menilai bahwa pemilihan langsung sangat mahal dan kembali mengusulkan agar khusus pilkada dilaksanakan secara tidak langsung. Namun tidak berarti bahwa pemilihan tidak langsung lalu bebas dari masalah karena hanya elit yang terlibat di dalam pemilihan tidak langsung tersebut.
Bahkan setahun yang lalu, Presiden Prabowo Subianto sudah juga menyampaikan usulan agar pemilihan kepala daerah tidak diselenggarakan secara langsung namun kembali dilakukan oleh DPRD untuk menekan biaya politik dan banyak komplikasi sosial kemasyarakaan lainnya.
Namun pada saat itu pun banyak protes dan penolakan dari berbagai kalangan jika pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD seperti zaman pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Suharto, itu akan menghilangkan hak pilih rakyat sekaligus memundurkan sistem demokrasi.
Sebelum Ketua Umum Golkar, usulan ini sudah disampaikan oleh presiden pidatonya pada puncak perayaan HUT ke-60 Partai Golkar di Sentul, 12 Desember 2024 yang lalu.
Jadi usulan ini terus bergulir karena biaya ekonomi dan non-ekonominya sangat mahal dengan harapan pilkada berjalan lebih efisien. Presiden Prabowo memberi alasan praktek pemilihan tidak langsung juga telah dilaksanakan di berbagai negara, termasuk negara tetangga.
“Saya melihat negara tetangga lebih efisien seperti Malaysia, Singapura, India, memilih anggota DPRD sekali, ya sudah DPRD itu yang memilih Gubernur dan Bupati,” kata Didik.
Menurut presiden kata Didik, sistem itu terlalu mahal. “Dari wajah yang menang saya lihat lesu, apalagi yang kalah,” ujarnya.
“Saya melihat komplikasi yang lain dari sistem pemilihan langsung pada masa teknologi IT dan AI sekarang ini. Selama 2 dekade terakhir ini pemilihan langsung ditandai oleh keterlibatan Alien, AI, bots, buzzer dan barang asing lainnya, yang merusak sendi-sendi demokrasi,” tulis Didik dalam rilis yang dikirim ke redaksi.
Karena itu, pemilihan langsung, meskipun bersifat “one man one vote”, terbuka menjadi alat eksploitasi dan manipulasi para elit di dalam demokrasi karena menguasai uang dan teknologi tersebut.
Suara rakyat, yang berasal dari suara hati nurani dan keinginan manusia untuk memilih pemimpinnya.Namun dengan kehadiran AI, maka dialog di dalam demokrasi disapu oleh suara mesin, provokasi buzzer, bots, AI dan mesin-mesih alien, yang masuk ke dalam sistem, menjajah dan menjarah demokrasi secara brutal.
Hasilnya adalah pemimpin pencitraan, yang tidak menampakkan wajah aslinya, seperti terlihat pada kepemimpinan Jokowi, yang dihasilkan dalam pemilihan langsung dengan penuh keterlibatan mesin-mesin manupulatif, buzzer, bots, dan AI.
- Penulis: Fahroji
- Editor: Fahroji